KORPRI atau Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia adalah wadah untuk menghimpun seluruh Pegawai Republik Indonesia demi meningkatkan perjuangan, pengabdian, serta kesetiaan kepada cita-cita perjuangan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bersifat demokratis, mandiri, bebas, aktif, profesional, netral, produktif, dan bertanggung jawab.
Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) sejatinya terbentuk pada tanggal 29 Nopember 1971. Namun sejarah pegawai negeri atau pegawai pemerintah sudah dimulai sejak zaman penjajahan yakni dimasa kolonial Belanda, dimana sebagian pegawai pemerintah Hindia Belanda berasal dari kaum bumi putera yang dipekerjakan sebagai pegawai kelas bawah penjajah pemerintah Belanda. Hal ini berlanjut hingga zaman penjajahan Jepang, seluruh pegawai pemerintah eks Hindia Belanda dipekerjakan pemerintah Jepang sebagai pegawai pemerintah.
Setelah Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pegawai yang dipekerjakan pemerintah Jepang secara otomatis dijadikan Pegawai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada masa Agresi 1948 -1949 dimana Belanda mengakui kedaulatan RI, Pegawai negeri terbagi dalam 3 kelompok : pertama Pegawai Negri yang tinggal di daerah pemerintahan Republik Indonesia tetap menjadi Pegawai Republik Indonesia (RI), kedua Pegawai Negri yang tinggal di daerah pendudukan Belanda ada yang tetap menjadi pegawai RI (pegawai Non-kooperator) dan yang ketiga adalah pegawai yang bekerja sama dengan Belanda (Kooperator). Hingga tanggal 27 Desember 1949 seluruh 3 kelompok pegawai ini disatukan menjadi Pegawai Republik Indonesia Serikat.
Pada masa Republik Indonesia Serikat, atau era pemerintahan parlementer dimana sistem ketatanegaraan menganut sistem multi partai. Politisi, tokoh partai mendominasi dan memegang kendali pemerintahan, termasuk dalam seleksi pegawai negeri. Oleh karena itu jelas PNS lebih berfungsi sebagai alat partai politik dan PNS jadi terkotak-kotak. Manajemen PNS baik mulai penerimaan, pengangkatan hingga pemberhentian lebih ditentukan oleh kedekatan atau loyalitas terhadap partai.
Keadaan ini terus berlanjut hingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dengan mengembalikan sistem ketatanegaraan ke sistem Presidensiil berdasar UUD 1945. PNS masuk dalam masa Demokrasi Terpimpin, sistem politik dan sistem ketatanegaraan diwarnai oleh kebijakan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme). Pada kondisi ini muncul supaya pegawai negeri netral dari kekuasaan partai-partai sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor : 18 Tahun 1961 pasal 10 ayat 3 ditetapkan bahwa "Bagi suatu golongan pegawai dan/atau sesuatu jabatan, yang karena sifat dan tugasnya memerlukan, dapat diadakan larangan masuk suatu organisasi politik". Namun semangat undang-undang ini tidak diteruskan dengan Peraturan Pemerintah untuk mengatur tata laksananya. Dan akhirnya Pegawai pemerintah kembali terjebak dalam mendukung Partai Komunis.
Korpri secara resmi dibentuk setelah munculnya munculnya Keppres RI Nomor : 82 Tahun 1971 tentang Korpri pada tanggal 29 November 1971. Dimana disebutkan bahwa Korpri “merupakan satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai RI di luar kedinasan” (Pasal 2 ayat 2). Tujuan pembentukannya Korps Pegawai ini adalah agar “Pegawai Negeri RI ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam negara RI”. Namun hal ini tidak berlangsung lama karena Korpri kembali menjadi alat politik UU No.3 Th.1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No.20 Th.1976 tentang Keanggotaan PNS dalam Parpol, makin memperkokoh fungsi Korpri dalam memperkuat barisan partai.
Saat jatuhnya pemerintahan orde baru yang ditandai dengan munculnya era reformasi dan berimbas pada reformasi birokrasi. Disini masih terjadi perdebatan antara Korpri bubar atau menjadi partai sendiri, sehingga tidak jarang pada era ini banyak PNS yang beralih profesi menjadi kader partai politik. Hal ini diatur PP Nomor 12 tentang Perubahan atas PP Nomor 5 Tahun 1999 muncul untuk mengatur keberadaan PNS yang ingin jadi anggota Parpol. Dengan adanya ketentuan di dalam PP ini membuat anggota Korpri tidak dimungkinkan untuk ikut dalam kancah partai politik apapun. Korpri hanya bertekad berjuang untuk mensukseskan tugas negara, terutama dalam melaksanakan pengabdian bagi masyarakat dan negara.
Namun dengan berlakunya otonomi daerah setelah keluarnya Undang-undang no 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian diganti dengan Undang-undang no 32 tahun 2004, PNS atau Korpri kembali masuk dalam lingkaran politik. Era ini ditandai dengan munculya istilah raja-raja kecil didaerah sehingga keadaan ini lebih terimbas pada pegawai daerah atau pegawai negeri yang dialihkan status kepegawaiannya menjadi pegawai daerah. Pegawai negeri daerah kembali terjebak dalam politik penguasa daerah. Manajemen karir menjadi tergantung pada kedekatan dan loyalitas kepada kepentingan politik penguasa daerah.
Dari segi aturan Peraturan kepegawaian No 8 Tahun 1974 telah diubah menjadi UU no 43 Tahun 1999 dan berlanjut hingga keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil serta Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000, namun hal ini tidak melepaskan kedekatan pegawai negeri dari politik. Dan keberadaan PNS terutama di daerah semakin rancu dalam manajemen karirnya karena era reformasi juga ditandai dengan muncul berbagai peraturan yang tidak saling sinkron seperti halnya UU yang mengatur guru dan dosen dengan UU pemerintahan daerah. Kepala daerah ketika kalah dalam PTUN dari pegawainya masih dapat berkelit karena masih ada aturan lain memberikan keleluasaan untuk melanggengkan intervensi politiknya terhadap PNS.
Terakhir ini muncul wacana untuk merubah Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi PNS saat ini. Namun hingga saat ini pembahasan RUU ASN ini terkesan mandek.
Setelah Anda membaca secara keseluruhan sejarah Korpri, Anda dapat melihat bahwa korpri notabenenya PNS tidak bisa lepas dari kepentingan politik, sehingga memunculkan pertanyaan :
- Apakah PNS merupakan abdi masyarakat atau abdi pemerintah ( politik penguasa) ?
- Apakah memang negara ini tidak pernah mau belajar dari sejarah, sehingga PNS harus bolak balik jatuh pada lubang yang sama ?
- Apakah RUU ASN nanti dapat menjawab tantangan netralitas PNS ? dan pembahasannya terkesan mandek apakah karena tahun 2013 ini ditandai dengan tahun politik sehingga netralitas PNS perlu didiamkan dulu?
Berangkat dari hal inilah kenapa gerakan Indonesia bangkit meletakan masalah aparatur negara ini pada poin 4 dan memperjelas sejarah bangsa Indonesia pada poin 8 dalam kontrak politik yang harus berani ditandatangani dan dijalankan oleh Presiden RI 2014-2019. kami berkeyakinan Anda saudara-saudara kami jauh lebih mendalami hal ini kiranya dapat memberikan saran masukan serta kritikan untuk mewujudkan Indonesia baru dengan berubah untuk bangkit.
0 Response to "Sejarah KORPRI sebagai Abdi Negara atau Abdi Penguasa ?"
Posting Komentar