Save vs Bubarkan KPK dimata Praktisi, Ahli dan Budayawan


Save vs bubarkan KPK di Mata Praktisi ahli budayawan untuk Indonesia Bangkit
Pada Tulisan Dinilai tidak Efektif, KPK perlu dihapuskan, maka disini  tentang Save vs Bubarkan KPK di mata para ahli dan praktisi. Jika sebelumnya  bubarkan hapuskan KPK,  ide dan tanggapan  oleh mayoritas oleh tokoh politisi atau atau anggota DPR, maka dikesempatan ini kita melihat dari sudut pandang para ahli dan budayawan.

Dukungan pembubaran KPK atau hapuskan KPK dari Dekan FH Universitas Muslim Indonesia Makassar Hasbi Ali  melalui RRI mengatakan kinerja KPK  dalam penanganan kasus masih banyak yang tebang pilih, dan hanya mengendus kasus korupsi kelas teri, sebaliknya kasus kelas kakap seperti kasus century tidak tertangani secara tuntas. ” Kinerja KPK  masih tebang pilih, kasus-kasus yang ada kaitannya dengan politik, apalagi jika ada rekomendasi DPR tidak tidak mampu diangkat KPK, karena KPK bekerja atas kepentingan penguasa” Untuk itu, lanjut Hasbi KPK Lebih baik dibubarkan saja, dan lembaga hukum lainnya seperti kejaksaan, kepolisian,  lebih diintensifkan ” Bubarkkan saja KPK, karena kinerjanya masih sangat lemah, lebih baik mengintensifkan lembaga kejaksaan, dan kepolisian”   

Jika Hasbi ali mendukung bubarkan KPK dilihat dari tidak tertangani kasus-kasus kelas kakap oleh KPK, maka Bambang Kesowo Pengajar Program Pascasarjana FH UGM dengan bahasa yang sedikit halus mendukung hal ini dengan mengembalikan pemberantasan tindak pidana korupsi ke khitahnya sesuai UU Kejaksaan dan UU Kepolisian, kembalikan supervise kepada Presiden dan DPR. Hal ini dikemukakan olehnya melalui kompas Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK memiliki tugas menyelidiki, menyidik, dan sekaligus menuntut di pengadilan khusus untuk tindak pidana korupsi. Di samping itu, lembaga ini juga mengoordinasi kepolisian dan kejaksaan dalam pelaksanaan tugas mereka dalam pemberantasan korupsi. Koordinasi tetap perlu, tetapi tanpa salah satu harus menjadi koordinator. Dalam kultur yang sakit, yang berkembang bukan fungsi kerja sama dan kesetaraan. Adapun yang berkembang justru adanya anggapan: ”dalam koordinasi, ada pihak yang dikoordinasi dan yang mengoordinasi. Yang dikoordinasi lebih rendah daripada yang mengoordinasi”. Tak perlu pula ada supervisor kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Biarlah kembali ke ”khitah”-nya: bahwa, baik sesuai UU Kejaksaan ataupun UU Kepolisian, Presiden-lah sesungguhnya supervisor kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian adalah kepolisian negara. Kejaksaan adalah aparat negara di bidang penuntutan. Presiden adalah juga kepala negara. Pengendalian Presiden atas kedua institusi itu berada di tataran kebijakan dan strategis. Presiden tidak semestinya khawatir dituding melakukan ”intervensi hukum” hanya karena melakukan kewajiban UU. Turun tangan adalah tugas UU dan berbeda dari ”intervensi”. Turun tangan meluruskan hal-hal yang bersifat strategis dan menyimpang dari kebijakan adalah kewajiban. Di sini, yang penting, Presiden tidak masuk ke tataran proses dan teknis yustisial. Kurang apa lagi? Bila DPR tidak puas dengan kualitas supervisi oleh Presiden, DPR dapat mempertanyakannya kepada Presiden. Dengan fungsi pengawasannya, DPR pun dapat mengundang kedua institusi tadi dan menanyakan langsung penanganan tindak pidana korupsi yang mereka tangani. Para politisi tersebut pastilah paham batas antara mana yang campur tangan dan mana yang bukan. Tak usah lagi KPK mengambil alih penanganan kasus yang sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan. Masyarakat sudah cerdas dan sangat kritis. Media massa juga sudah demikian bebas menulis apa yang dirasanya janggal. Bila KPK bisa berjalan dengan tumpuan, antara lain, laporan lembaga-lembaga swadaya, bukankah Presiden dan DPR juga dapat menggunakan laporan masyarakat dan media massa sebagai bahan supervisi? Kalau penanganan kasus dinilai tidak beres di kedua institusi tadi, mekanisme supervisi oleh Presiden dan DPR yang mestinya berjalan.

Di lain pihak pada waktu gencar  permasalahan penarikan penyidik KPK oleh POLRI, banyak tokoh yang menyatakan dukungannya. Seperti yang diberitakan Tempo  Salah satu yang mendukung adalah  Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa KPK dibentuk karena kurang efektifnya kinerja lembaga hukum yang ada dalam memberantas korupsi, yang terjadi KPK justru digerogoti. Karena itu ”KPK perlu didukung agar KPK sebagai simbol negara bersih bisa menjadi harapan masyarakat.” Dukungan juga dihadiri Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan; pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana; guru besar ilmu hukum Universitas Airlangga J.E. Sahetapy; dan tokoh nasional Salahuddin Wahid. 

Dalam bahasa yang hampir sama Khairurrizqo Peneliti di Hikaam Institute, Jakarta melalui okezone  DPR dalam hal ini sebagai lembaga pengawasan tentu berhak mengingatkan KPK sebagai mitra kerja. Tapi, dewan juga harus lebih cermat dalam menangkap aspirasi dan logika publik. Bagaimanapun, pernyataan dewan adalah refleksi dari kinerja dan cara pandang mereka terhadap penyelesaian masalah. Sulit mencerna ide pembubaran KPK hanya sekedar kritik, dan bukan bentuk ketakutan mereka terjadap intensitas pemeriksaan KPK terhadap modus-modus permainan anggaran di dewan. Melawan korupsi butuh lebih dari sekedar kemampuan dan keberanian. Dibutuhkan legitimasi yang kuat untuk menangkap aktor-aktor intelektual yang terkadang justru tepat berada, atau dekat dengan sentra kekuasaan. Dalam hal ini legitimasi formal kelembagaan saja tidak cukup. Kejaksaan dan Kepolisian adalah lembaga dengan legitimasi formal yang kuat tetapi kenyataannya tidak cukup mampu menyelesaikan kasus-kasus besar, dan beberapa justru malah terlibat di dalamnya. 
Sementara ICW melalui Evaluasi&roadmap penegakan hukum KPK 2012-2015 lebih menekan pada penguatan pada lembaga KPK dengan melihat penegakan hukum KPK yang sudah lebih lebih agresif sehingga wajar muncul perlawanan untuk membubarkan, walaupun masih banyak persoalan internal yang perlu menjadi perhatian. Untuk itu ICW memberikan rekomendasi atara lain :
  1. Pentingnya memperkuat Pengawasan Internal Penguatan pengawasan internal mesti dilakukan dengan menegakkan kode etik dengan prinsip Zero Tolerance, dan membersihkan mafia ditubuhnya sendiri
  2. Memperkuat sistem transparansi Setelah UU No. 14 tahun 2008   maka KPK harus memperkuat sistem transparansinya.
  3. Memperkuat Kode Etik Pegawai dan Pimpinan KPK Pimpinan KPK periode mendatang perlu mengevaluasi kembali aturan kode etik internal KPK.
  4. Memperkuat Penindakan Melalui Rekrutmen Penyidik Independen dimana tenaga investigator atau penyidik  direkrut, dididik, dan dikelola sendiri oleh KPK

Sementara dengan guyon Budayawan Emha Ainun Najib atau Cak Nun mendoakan KPK agar segera dibubarkan, sebagai tanda bahwa tindakan korupsi sudah lenyap dari Indonesia.  "Doa saya supaya (KPK,-red) segera bubar, sehingga tidak ada lagi yang namanya korupsi, sehingga tdk perlu lagi yang namanya lembaga ad-hoc pemberantasan korupsi di negeri ini," kata Cak Nun di awal acara Sarasehan Budaya Antikorupsi antara lembaga penegak hukum di Jakarta,  Plasa MSN 

Bagaimana menurut Anda, ikut mendukung KPK atau setuju bubarkan KPK ? untuk itu selanjutnya kita akan membahasnya dengan Cara Indonesia Bangkit

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Save vs Bubarkan KPK dimata Praktisi, Ahli dan Budayawan"