kritik terhadap 6 indikator survey tokoh pluralis Indonesia 2013

ada penghujung Tahun 2013, Lembaga Pemilih Indonesia mengeluarkan liris tokoh dan capres pluralis 2013. Hasil rilisnya telah cara Indonesia bangkit posting dalam tulisan 6 tokoh pluralis, tokoh senior dan junior yang tidak pluralis Indonesia 2013. Jika dalam tulisan ketidakpluralisan survey survey tokoh pluralis Indonesia, cara Indonesia Bangkit mengkritik secara umum. Maka pada kesempatan ini, cara Indonesia bangkit khusus memberikan ulasan sebagai kritik terhadap 6 indikator survey tokoh pluralis Indonesia 2013 
kritik terhadap 6 indikator survey tokoh pluralis Indonesia

Dari hasil penelusuran lebih lanjut terhadap survey tokoh pluralis yang dilakukan LPI didapatkan hasil liris ternyata ada 18 tokoh senior dan 12 tokoh junior yang dianggap punya kans sebagai capres 2014 sesuai tingkat pluralisnya. Namun para media online memutarnya sesuai dari tujuan pemberitaannya, sehingga mempengaruhi tulisan 6 tokoh pluralis, tokoh senior dan junior yang tidak pluralis Indonesia 2013. Oleh karena lebih komprehensif jika 6 indikator survey LPI digunakan sebagai bahan analisis. 

Adapun analisis kritis Cara Indonesia Bangkit terhadap 6 indikator LPI dalam survey tokoh pluralis tersebut adalah sebagai berikut: 
  1. memiliki wawasan keindonesiaan. Untuk indikator ini tentu kita sepakat bahwa seorang tokoh apalagi capres harus memiliki wawasan keindonesian. Namun seperti apa wawasan keindonesian yang digunakan LPI, kita tidak mengetahui detailnya. Oleh karena itu kita kembali kedasar negara bahwa Indonesia berdasarkan Pancasila dengan Bhineka tunggal Ika. Yakni sebuah pilar kebangsaan yang telah dikokohkan oleh MPR-RI 2009-2014 sebagai salah satu dari empat pilar kebangsaan. Bhineka Tunggal Ika adalah kesatuan kata yang bermakna persatuan dalam keanekaragaman masyarakat indonesia baik suku, agama, ras antar golongan. 
  2. bersikap moderat. Indikator ini juga sangat tepat digunakan dengan filosofis Pancasila sebagai negara NKRI yang berkedaulatan rakyat dan negara hukum. Seorang pemimpin harus berdiri tengah kepentingan kelompok dan berdiri diantas kepentingan masyarakat luas. 
  3. membela hak minoritas. Secara prinsip sebenarnya, kami kurang suka dengan terminologi mayoritas dan minoritas. Dari hasil penelusuran terhadap survei ini lebih condong pada minoritas dalam bidang agama. Dimana direktur LPI Boni hargens menyatakan bahwa Gamawan Fauzi rendah nilainya karena komentar terhadap penempatan susan sebagai salah satu Lurah di pemprov DKI. Jika kita analisis lebih dalam bahwa seorang tokoh terlebih sebagai kandidat capres tentu harus membela hak semua pihak baik mayoritas dan minoritas sehingga tidak bertolak belakang dengan indikator sebelumnya. Di negeri ini bukan hanya minoritas yang haknya terabaikan, hak-hak mayoritas juga diabaikan. Masih segar ingatan kita ketika adanya pelarangan Takbir keliling pada Hari raya Idul Fitri 2013 lalu dengan alasan keamanan. Demikian juga hak untuk mendapatkan obat-obatan yang halal, pemerintah seakan tutup mata dengan hal ini bahkan media juga lebih fokus pada perdebatan halal haram, perlu tidak sertifikasi halal pada obat-obatan. Yang seharusnya para tokoh mendorong bagaimana politik anggaran/APBN dapat mendorong BUMN dan pengusaha dalam negeri dapat menyediakan obat-obatan yang halal, baik, dan sehat tanpa harus impor dari luar negeri. Untuk itu indikator membela hak minoritas memang sangat perlu, namun kata adil seharus lebih tepat digunakan. Seorang tokoh capres harus dapat berlaku adil terhadap seluruh masyarakatnya. 
  4. mengusahakan kebijakan pro pluralisme. Untuk indikator ini, Cara Indonesia Bangkit kurang sepakat dengan LPI bahwa seorang tokoh capres harus mengusahakan kebijakan pro pluralisme. Karena kata pluralisme hanya menekankan kata Bhineka, padahal kata Bhineka Tunggal Ika adalah satu kesatuan. Jika indikator ini digunakan akan bertentangan dengan Pancasila bahkan bertolak belakang dengan indikator LPI sebelumnya, sehingga terkesan survei ini inkonsisten. Untuk ini cara Indonesia Bangkit mengajukan usul seorang tokoh capres harus Memasyarakatkan Bhineka Tunggal Ika dan menghapus Pluralisme. 
  5. Tidak mencampuradukkan urusan agama dengan politik. Dengan adanya indikator ini menambahkan tidakkonsistennya survey yang dilakukan. Survey dengan judul tokoh capres pluralis namun indikatornya tidak pluralis. Indikator ini mengabaikan kelompok agama lain yang tidak memisahkan agama dalam politik. Dalam Agama islam dan Hindu ada pemahaman yang tidak memisahkan antara urusan agama dengan politik. Untuk itu Cara Indonesia Bangkit mengajukan usul agar para tokoh dan capres 2014 seharusnya mampu mencari titik temu antara urusan agama dengan politik. Bukan malah sebaliknya mempertebal perbedaan yang ada sehingga dapat memicu konflik dan memcah persatuan dan kesatuan bangsa indonesia. 
  6. tegas terhadap ormas radikal berjubah agama. Dengan indikator ini, kami berpendapat bahwa LPI semakin mengecilkan atau menyempitkan makna pluralis dengan mengerucutkan pada kelompok tertentu. hal dibuktikan Direktur LPI Boni Hargens saat merilis hasil surveinya mengatakan, Gamawan menjadi tokoh yang paling tidak pluralistis karena komentar-komentarnya yang tidak mencerminkan pluralisme. Contohnya adalah ketika Gamawan berkomentar tentang pemindahtugasan Lurah Susan dan kerja sama Front Pembela Islam (FPI) dengan pemerintah daerah. Kita ketahui bahwa diskriminasi terhadap kemajemukan (baca : Bhineka daripada pluralis) tidak terjadi hanya karena ormas. Perorangan, kelompok masyarakat, media, pengusaha, termasuk pemerintah sendiri juga melakukan diskriminasi terhadap kebhinekaan. Sehingga dapat disimpulkkan bahwa indikator ini semakin mengecilkan hasil surveynya. 
Dari keseluruhan indikator tersebut dapat disimpulkan bahwa : 
  1. Indikator yang digunakan bertentangan dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika 
  2. Adanya ketidakkonsistenan antara satu indikator dengan indikator lainnya 
  3. Indikator yang digunakan menggiring orang pada hasil yang diinginkan. 
  4. Indikator yang digunakan justeru dapat semakin memanaskan situasi panggung 2014. 
Untuk itu tidak salah jika relawan Dino Patti Djalal menganggap survey ini merupakan pesanan. Dengan menggunakan indikator yang salah akan menghasilkan survey yang salah. Garbage in, Garbage out (GIGO) harus dihindari dalam sebuah survey. Dengan kejadian ini tentu semakin menguatkan kita akan telah terkontaminasinya lembaga-lembaga survey akhir-akhir ini dan bahkan ikut membangun opini publik. Untuk itu Cara Indonesia Bangkit kiranya berpesan kepada kita semua untuk dapat lebih bijak menyikapi hasil-hasil survey. 

Marilah kita cari titik temu, jalan tengah dan persamaan ditengah keanekaragaman yang ada. Pendiri Bangsa telah meletakkan dasar dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, Tinggal kita memasyarakatkannya dan mengembangkannya.  dengan ini  Kita akan wujudkan Indonesia satu sebagaimana sumpah pemuda yang pernah diikrarkan pemuda Indonesia lebih 96 tahun yang lalu. 

Bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia 
Berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia 
Berbahasa satu, Bahasa Indonesia 
Untuk Indonesia Bangkit.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "kritik terhadap 6 indikator survey tokoh pluralis Indonesia 2013 "