Pluralisme yang tidak mengakomodir pluralitas
Ide Tulisan ini sebenarnya sudah muncul setahun yang lalu, namun baru dapat diwujudkan pada tahun ini. Dimana saat mengurus akta disebuah kantor pemerintahan tepatnya pada tanggal 31 Desember 2013. Walaupun besoknya adalah hari libur tahun baru, sepertinya kantor ini tidak terimbas sindrom libur mendahului. Sambil menunggu pelayanan, kami ambil sebuah media cetak nasional yang ada di meja recepsionis. Sekilas melihat halaman depan, Koran langsung dibalik ke halaman belakang (maklum kebiasaan mbaca Koran sering dari belakang). Ada sebuah berita bergambar yang menarik hati ini. yaitu sebuah berita bergambar sebesar 1/8 halaman tentang penghargaan kepada tokoh pluralism Indonesia Tahun 2013.
Namun karena pelayanan costumer sudah memanggil, maka koranpun ditutup dengan tidak lupa mencatat poin-poinnya diagenda. Dan selesai kegiatan dipenghujung tahun alias tahun baruan baru topic ini dapat ditulis. Dimana sebelumnya saya coba searching tentang tokoh pluralism Indonesia 2013 ini.
Ternyata berita tersebut adalah penghargaan Tokoh Capres pluralis Indonesia 2013 ini dilakukan oleh Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) dengan direkturnya Boni Hargens seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia. Penghargaan diberikan kepada tokoh atau politisi yang pro terhadap pluralism. Hampir seluruh pemberitaan media online memuat tentang Pemberian gelar Tokoh Capres pluralis Indonesia 2013. Begitu terasa istimewanya penghargaan ini. Memang pluralisme menjadi istimewa karena diberikan bertepatan dengan haulnya Gusdur, sebagai sosok yang pernah dinyatakan Presiden SBY sebagai tokoh pluralism. Disamping itu memang pilpres yang sudah diambang pintu, sehingga isu pluralism menjadi sentral.
Adapun anugerah penghargaan ini diberikan kepada 6 tokoh politik yang memiliki kans sebagai capres 2013, diantaranya yaitu Joko Widodo, Hary Tanoesoedibjo, Ali Masykur Musa, Megawati Soekarnoputri, Surya Paloh, dan Prabowo Subianto. Penghargaan ini sepertinya berkaitan dengan survey LPI yang pernah dirilis pada bulan November 2013. Dimana hasil survey tersebut menempatkan Gamawan Fauzi (Mendagri), Dino Patti Djalal sebagai tokoh yang paling tidak pluralism. Demikian juga SBY sebagai presiden dianggap sebagai tokoh paling tidak pluralism. Walaupun tidak berpeluang lagi untuk capre, namun ikut dinilai dan termasuk dalam 5 orang tokoh paling tidak pluralism. Selengkapnya informasi ini disampaikan dalam tulisan 6 tokoh pluralis dan tokoh tidak pluralis Indonesia 2013.
Tidak heran jika hasil survey ini, membuat kesal Relawan Dino Patti Djalal salah satu peserta konvensi capres dari partai demokrat. "Survei yang dilakukan LPI lebih bernuansa politis ketimbang riset ilmiah," kata Ketua Dewan Penasihat Relawan Dino Patti Djalal untuk Indonesia, Marison Guciano yang dimuat media republika. Demikian juga bantahan dilakukan tokoh agama terhadap hasil survei tersebut melalui situs sayangi.com. Namun melalui searching informasi lebih lanjut tentang bantahan atau kritik terhadap survey LPI ini tidak kami diperoleh.
Sebenarnya perdebatan tentang pluralism memang sudah lama menjadi trend topic dan bukan hanya di negeri ini bahkan di tingkat dunia. Dimana perdebatan antara hubungan agama dengan negara, atau agama dengan politik sudah dimulai sejak abad 18. Dimana faham sekulerisme yang diikuti dengan paham pluralism, liberalism dan sosialisme muncul ketika revolusi Eropa mulai membebaskan politik dan negara dari kelembagaan Gereja . Sedangkan di sisi lain, Islam sebagai agama tauhid justeru tidak memisahkan antara agama dan negara sehingga menculkan konsep negara agama.
Sementara Indonesia lahir sebagai negara merdeka dalam wadah NKRI sebagai negara berdaulat berdiri ditengah kedua pandangan tersebut. Untuk mengakomodir keduanya Indonesia dibangun dengan berdasarkan Pancasila. Dimana dalam pancasila terkandung Ketuhanan Yang Maha Esa yang ditempatkan sebagai sila pertama. Untuk memperkuat itu, Indonesia juga memiliki paham sendiri yaitu Bhineka Tunggal Ika. Para Ilmuwan menyebut Indonesia sebagai negara beragama.
Oleh karena Cara Indonesia Bangkit adalah mari kita restart ulang pola pemikiran kita terhadap negeri ini. Janganlah kita condong pada satu sisi dengan mengabaikan sisi yang lain dengan Tidak memperuncing permasalahan melalui penguatan pluralism semata dengan mengabaikan sisi lain. Ayo kita kembali kepada pemaknaan pancasila sesungguhnya. Bahwa Indonesia memiliki kekayaan kosa kata yang lebih baik yakni Bhineka Tunggal Ika daripada kata pluralism. Kata ini seperti untaian kata yang terlupakan, padahal itulah dasar negara ini berdiri. Secara lebih luas pandangan ini kami wujudkan dalam tulisan Memasyarakatkan Bhineka Tunggal Ika, menghapus Pluralisme.
Untuk itu, Cara Indonesia Bangkit menyimpulkan bahwa Survey Tokoh Capres pluralis justeru yang tidak pluralis. Walaupun hanya mengenal kulit luar survey tersebut, kami beranikan mengambil kesimpulan tersebut. Mengingat keterbatasan data tentang survey tersebut, sehingga kesimpulan yang diambil tersebut tidak menyoroti bagaimana proses survey atau metode yang digunakan. Dan hanya melakukan penilaian berdasarkan indikator survey yang digunakan. Dimana indikator yang salah akan menghasilkan temuan yang salah pula. Istilah dalam dunia komputer yakni Garbage in Garbage out (GIGO) juga dapat berlaku dalam survey. Sehingga penggunaan indikator yang tidak mencerminkan wawasan keindonesian dan pluralism justeru akan menggiring pada hasil yang keliru. Adapun ulasan cara Indonesia Bangkit terhadap indicator yang digunakan LPI kami buatkan dalam tulisan kritik terhadap survey tokoh pluralism Indonesia 2013.
Solusi untuk negeri ini seharusnya bukan dengan mempertebal kedua kutub yang berseberangan tersebut. Survey pluralism ini dapat kita apresiasi untuk memperkuat pemahaman kita pada kemajemukan masyarakat Indonesia. Namun jangan lupa, disisi lain penguatan pluralism justeru dapat melemahkan persatuan antara masyarakat kita.
Untuk itu cara Indonesia Bangkit memberikan solusi yang efektif untuk meningkatkan penghargaan terhadap kemajemukan masyarakat sekaligus menjaga persatuan dan kesatuan dalam masyarakat Indonesia melalui tulisan Pancasila adalah titik temu negara ketuhanan dengan negara sekuler.
Semoga melalui tulisan ini kita selalu berusaha untuk mencari titik temu antara perbedaan-perbedaan yang ada disekitar kita. Mari kita pertebal Bhineka tunggal Ika untuk menguatkan kemajemukan dan keragaman suku, agama, ras yang ada ditengah-tengah masyarakat untuk mewujudkan Indonesia Bangkit.
0 Response to "Ketidakpluralisan Survey Tokoh Capres pluralis"
Posting Komentar