Tak terasa sudah lebih setengah tahun tidak update blog Cara Indonesia Bangkit. Berbagai momen penting Negara dilewatkan tanpa tulisan di blog. Pemilu Legislatif dan Pilpres tanpa tulisan. Namun untuk pilkada 2015 sepertinya sayang untuk dilewatkan, walaupun hanya satu dua tulisan. Mudah-mudahan dapat membagi waktu dan tidak terkendala teknis.
Memang harus diakui bahwa RUU Pilkada sebagai salah satu dari tiga RUU pecahan dari UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah cukup hangat dan Alot saat penetapannya. Hal ini wajar karena begitu banyak kepentingannya yang terlibat didalamnya sehingga memunculkan dilema tersendiri. Pilkada langsung oleh rakyat dengan segala konsekuensinya, demikian juga pilkada oleh DPRD dengan segala konsekuensinya. Seperti tidak ada pilihan yang sempurna.
Dilema tersebut termasuk saya rasakan sendiri. Terjadi pergolakan besar dalam diri untuk menentukan mana yang terbaik antara dua pilihan pilkada oleh rakyat atau pilkada oleh DPRD.
Dalam isi kepala ini rasanya rugi jika pilkada dilakukan oleh DPRD karena
- Saya sedang menyelesaikan buku menang pilkada tanpa Uang (presfektif Calon Independen)
- Lembaga survey sudah dirintis dan berjalan pada satu pilkada dan Pemilu legislative.
- Kesempatan, peluang, karir dan ekonomi tentu sedikit tertutup.
Namun hati ini tidak rela :
- Jika dimasyarakat terjadi gontok-gontokan hanya gara-gara beda pilihan pilkada langsung
- Jika terjadi birokrasi semakin rusak hanya karena pilkada langsung
- Jika anggaran yang besar habis untuk hal yang tidak produktif hanya demi pilkada langsung.
Dilema ini juga yang mungkin dirasakan oleh Surya Paloh Ketum Partai Nasdem dan Presiden SBY. Seperti kita ketahui bahwa Surya Paloh saat kampanye pemilu legisltif begitu semangat untuk memperbaiki system pilkada langsung oleh rakyat menjadi pilkada oleh DPRD. Namun realitas membuat sikap menjadi mendukung pilkada langsung. Mungkin kita harus maklum karena Nasdem tergabung dalam koalisi pengusung Jokowi-JK bersama PDI-P yang tidak setuju perubahan pilkada langsung oleh rakyat menjadi pilkada oleh DPRD.
Demikian juga Presiden SBY yang Ketua Umum Partai demokrat masih cendrung mengambil posisi netral untuk mengikuti aspirasi yang berkembang. Hal juga menjadi maklum kita mengingat beliau akan mengakhiri masa jabatannya sebagai Presiden RI 2009-2014 tanggal 20 Oktober 2014. Dan tentunya beliau ingin dimasa akhir jabatannya memberikan kesan/hadiah manis dan terindah untuk rakyat Indonesia.
Dilema kedua tokoh tersebut berbeda dengan saya. Penyelesaian dilema dalam diri mereka akan dapat berimbas pada hasil akhir pembahasan RUU Pilkada. Seperti SBY sebagai Ketum Partai Demokrat tentu sangat vital. Posisi Partai Demokrat dalam komposisi DPR-RI 2009-2014 cukup memberikan pengaruh dalam penetapan RUU Pilkada. Ketetapan Pilkada langsung atau tidak langsung turut ditentukan oleh Partai Demokrat.
Namun bagi saya, penyelesaian dilema dengan keputusan pada salah satu pilihan hanya untuk memberikan pencerahan pada diri sendiri. Adapun Dilema RUU Pilkada antara oleh rakyat atau DPRD adalah terjawab melalui tulisan-tulisan dalam tags RUU Pilkada. Saya tidak fanatik pada salah satu pilihan karena kedua pilihan tersebut memiliki konsekuensi-konsekuensi yang harus carikan solusinya dimasa akan datang. Ini yang harus menjadi PR bangsa ini kedepan setelah keputusan diambil tentang RUU Pilkada baik dilakukan oleh rakyat atau DPRD. semoga Indonesia dapat bangkit dengan semangat kebersamaan.
0 Response to "Dilema RUU Pilkada antara oleh rakyat atau DPRD"
Posting Komentar